Opini Mahasiswa

Kenaikan SP3, sebuah Narasi Liberalisasi Pendidikan


Kenaikan SP3, sebuah Narasi Liberalisasi Pendidikan
Oleh : Abdul Kodir, Mahasiswa Sosiologi, FISIP UNAIR

"Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas
(Bumi Manusia, h. 138)" — Pramoedya Ananta Toer

Secara filosofis, pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi peserta didik agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam hidupnya. Landasan dari pendidikan itu sendiri merupakan sebuah semangat cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, artinya membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh dan berkembang. Ki Hajar Dewantara selaku pendiri “Taman siswa” telah mengartikan kalau pendidikan harus menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (Konatif). Singkatnya, pendidikan harus terdapat keharmonisan antara pikiran , hati dan perbuatan.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, termaktum jelas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea Ke-4 berbunyi : “Mencerdaskan kehidupan bangsa”, hal ini sudah sangat jelas bahwa salah satu tugas dari negara yaitu turut serta dalam aktif dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa dengan pendidikan. Negara mempunyai andil besar dalam proses penyelenggaraan pendidikan.
PP 66 Tahun 2010 diberlakukan sebagai pengganti PP 17 Tahun 2010 yang sebelumnya tertuang dalam Undang – Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) pasca pencabutan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Ada beberapa hal yang perlu dicermati di PP 66 tersebut , Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang tercantum dalam Badan Hukum Milik Negara (BHMN), pengelolaan keuanganya dengan menggunakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Meski dalam proses penyesuaian karena dalam masa transisi, diharapkan pada 31 Desember 2012 semuanya sudah terealisasi .
Selain itu, dalam PP 66 tahun 2010 juga ada kewajiban bagi PTN mengenai proses penerimaan mahasiswa baru. Setiap perguruan tinggi diharuskan menerima minimal 20% mahasiswa yang memiliki keterbatasan ekonomi namun memiliki otak cemerlang. Sedangkan untuk penerimaan mahasiswa baru, sesuai PP ini telah ditetapkan bahwa 60% mahasiswa baru melalui seleksi nasional.
Fakta inilah menyebabkan pihak pengelola pendidikan Univesitas Airlangga seperti ‘’kebakaran jenggot”. Melihat penetapan kenaikan kuota jumlah penerimaan mahasiswa melalui jalur seleksi nasional sebesar 60% itu menyebabkan keuangan Unair defisit. sehingga pihak pelaksana pendidikan Unair mencoba melakukan penutupan langkah defisit dengan menaikan pembayaran Sumbangan Peningkatan Pengembangan Pendidikan (SP3) di semua jalur peneimaan baik itu SMPTN ataupun PMDK UMUM .
Kenaikan biaya SP3 ini sangatlah bervariasi, antara 30% sampai 100% untuk jalur mandiri / PMDK Umum dan pengenaan biaya SP3 antara Rp 2,5 Juta sampai Rp 15 Juta untuk jalur SMPTN. Jumlah kenaikan SP3 bisa dikatakan sangat begitu besar. Memang tidak menjadi persoalan untuk calon mahasiswa ber-orang tua kelas ekonomi menengah keatas, tapi untuk calon mahasiswa menengah ke bawah apakah sanggup mengkuliahkan anaknya di Universitas Airlangga.
Kalau kita telaah lebih dalam , kenaikan pembiayaan pendidikan itu adalah bagian pengalihan narasi “Liberalisasi Pendidikan” itu sendiri, dimana pendidikan saat ini merupkan komoditi yang siap diperdagangkan. Sehingga angan kita mengenai “pendidikan murah untuk rakyat” semakin melayang.
Oleh karena itu , kita sebagai mahasiswa selaku bagian dari insan akademisi yang memiliki sebuah kesadaran mampu memandang secara kritis tentang situasi sosial dan berani berkata “Tidak” untuk kenaikan biaya SP3 di kampus kita.

Educated the Head, the Heart, and the Hand !


Sumber :
1.    UUD 1945
2.    PP 66 Tahun 2010
4.    Brosur Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas Airlangga (Job Fair, 14-15 di Kampus C)